,.
Showing posts with label Tentang RME. Show all posts
Showing posts with label Tentang RME. Show all posts

Wednesday, January 8, 2014

Ada Apa Dengan Kurikulum 2013, PMRI dan PISA 2012? (Menuju Pembentukan Karakter Yang Lebih Baik, Bukan Pada Pembunuhan Karakter!!!)

Penulis saat sebagai pengisi dalam workshop Desain Pembelajaran Kurikulum 2013 dan PMRI pada KKG Guru MI Kemenag Kota Palembang Desember 2013

Apakah yang menjadi tambahan / perbedaan dalam kurikulum 2013 di SD / MI saat ini dengan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)?
Hal ini merupakan salah satu pertanyaan yang sering terfikirkan oleh guru, pengamat dan pemerhati pendidikan melihat begitu genjar nya usaha pemerintah dalam mensosialisasikan kurikulum 2013 mulai dari tingkat SD / MI.

Sekilas seperti yang tercantum pada penjelasan di Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Tentang Kurikulum 2013, menyebutkan bahwa kurikulum 2013 di SD/MI lebih mengutamakan keseimbangan antara soft skils dan hard skills yang meliputi aspek kompetensi sikap / afektif, ketrampilan / psikomotorik, dan pengetahuan / kognitif. Pada kurikulum 2013, pembelajaran tematik integratif diberlakukan di seluruh kelas di SD. Perubahan paling mendasar pada pembelajaran tematik integratif adalah perubahan model interaksi guru dan siswa pada proses pembelajaran. Pembelajaran menfasilitasi siswa untuk banyak bertanya, menemukan masalah-masalah dan mencari pemecahannya, peran aktif siswa yang lebih ditonjolkan selama proses kegiatan belajar mengajar.

Pembelajaran tematik integratif merupakan pendekatan pembelajaran yang mengintegrasikan berbagai kompetensi dari berbagai mata pelajaran ke dalam berbagai tema sebagai pemersatunya dimana model penyajiannya menghubungkan materi satu dengan materi yang lain, dilanjutkan dengan pemilihan sub-sub tema dengan memperhatikan keterkaitannya antar mata pelajaran. Selain itu, pada KTSP terdahulu, terdapat tiga langkah proses pembelajaran yaitu eksplorasi, elaborasi dan konfirmasi sedangkan dalam kurikulum 2013 terdapat tambahan lima pengalaman belajar pokok yang kemudian lebih dikenal dengan pendekatan Saintifik (mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, mengkomunikasi). Melalui salah satu nya pendekatan saintifik inilah, kurikulum 2013 sejalan dengan pemikiran yang ada di dalam Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). PMRI merupakan suatu bentuk adopsi dari Realistic Mathematics Education (RME) yang dikembangkan oleh Hans Freudental di Belanda (mengenai PMRI telah penulis paparkan di blog ini pada artikel-artikel sebelumnya)

Kurikulum 2013 dan PMRI merupakan salah salah kurikulum baru dan pendekatan pembelajaran menuju salah satu pembentukan karakter siswa yang lebih baik. Bukan menuju kepada pembunuhan karakter siswa yang masih terjadi sampai saat ini. Bagaimana bisa dikatakan membunuh karakter siswa?
Iya, pembunuhan karakter tidak hanya terjadi pada orang dewasa seperti yang muncul di berita-berita tv belakangan lalu yang pernah booming, namun bisa juga terjadi pada siswa-siswi dimana secara tidak sadar dilakukan oleh para pendidik dan bisa jadi penulis melakukan nya pula karena suatu bentuk kekhilafan sebagai manusia, :D. Guru yang terkadang masih menuntut kepada siswa-siswi untuk belajar dengan tenang, tangan bersedekap / rapi di atas meja, tidak ada pertanyaan-pertanyaan yang nyeleneh (baca: diluar dugaan guru) menyebabkan kreativitas / inovasi dari siswa-siswi terbunuh karena mereka dianggap membuat keramaian / kegaduhan / keonaran / hal yang tidak diinginkan oleh guru di dalam kelas. Hal ini bisa dikatakan bahawa guru membunuh karakter anak yang cenderung aktif untuk bertanya, berbicara menyampaikan pendapat akhir nya menjadi pasif dan diam di dalam kelas yang mana kepasifan dan diam nya anak bisa bertahan pula sampai anak itu menjadi dewasa.

Seharusnya hal tersebut bisa dimanfaatkan oleh guru untuk menggunakan keaktifan siswa yang begitu tinggi untuk proses belajar yang lebih baik. Sebagaimana pula disampaikan dalam survei Program for International Student Assessment (PISA) 2012 -merupakan suatu sistem penilaian secara internasional pada kemampuan membaca, matematika dan sains pada anak-anak yang berusia sekitar 15 tahun- diikuti oleh negara-negara yang tergabung dalam The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menyebutkan bahwa Indonesia menempati peringkat pertama dalam kriteria merasa paling bahagia berada di sekolah (bisa diartikan merasa senang, terlalu aktif ketika proses belajar di dalam kelas, yang pada kenyataan nya mereka juga tidak belajar dengan kesenangan tersebut alias ramai sendiri :D). Sayang nya, peringkat ini berbanding terbalik dengan hasil dalam bidang literasi matematika, bahasa dan sains yang lebih buruk hasil nya jika dibandingkan pada tahun 2009 dimana berada pada ranking 57 dari 63 negara, sedangkan pada PISA 2012, Indonesia menempati ranking 64 dari 65 negara.

Hasil PISA 2012 ini merupakan hasil pada proses pembelajaran berdasarkan KTSP, namun bukan berarti penulis mengatakan bahwa KTSP itu gagal / buruk karena berdasarkan hasil PISA tersebut. Kegagalan tersebut harus ditinjau dari berbagai banyak aspek yang tidak bisa menyalahkan kurikulum saja. Banyak faktor penyebab jika ingin mencari penyebab dari hasil PISA tersebut.  Dan sekarang ini, pemerintah melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan telah mengaplikasikan kurikulum terbaru yaitu kurikulum 2013. 

Berkaca pada 2 hasil yang saling bertolak belakang tersebut, peringkat kedua dari bawah dan adapula peringkat teratas menjadikan kita sebagai guru, pemerhati pendidikan untuk mengubah proses pembelajaran terutama pada mata pelajaran matematika yang mana pada saat ini lebih cenderung pada hafalan, pengajaran menghitung yang membuat siswa merasa kesulitan yang seharus nya bisa dibuat lebih mudah dan bermakna di dalam proses pembelajaran tersebut dengan memanfaatkan antar siswa berdiskusi untuk menemukan jawaban nya sendiri dan guru hanya sebagai fasilitator / perantara dalam proses pembelajaran.
Untuk mewujudkan proses pembelajaran yang lebih baik tentunya seorang guru juga harus mampu membuat desain pembelajaran yang baik dan benar. Berikut ini, penulis memberikan salah satu contoh proses pembelajaran di kelas II SD berdasarkan kurikulum 2013 dengan pendekatan PMRI. Bukan berarti desain pembelajaran ini adalah yang terbaik namun bisa menjadi salah satu contoh bagi para pembaca sebagai referensi dalam menggunakan kurikulum 2013 yang saat ini sedang dijalankan oleh pemerintah. Pembelajaran ini pun juga tidak terlepas dari kekurangan penulis yang dalam hal ini sebagai pengajar di dalam kelas II tersebut.

Pada Video di bawah ini, mensiratkan 3 mata pelajaran yaitu Seni Budaya dan Prakarya, Bahasa Indonesia, dan Matematika yang tergabung dalam tema bermain di lingkungan ku dengan kompetensi dasar sebagai berikut.
  1. Matematika : mengetahui ukuran panjang di kehidupan sehari-hari dengan menggunakan satuan tidak baku menuju satuan baku
  2. Seni Budaya dan Prakarya : mengenal seni budaya  daerah beserta bahan, alat dan fungsinya dalam membuat karya seni budaya dan prakarya.
  3. Bahasa Indonesia : Memiliki perilaku santun dan jujur dalam hal kegiatan dan bermain di lingkungan melalui pemanfaatan bahasa Indonesia dan atau bahasa.
Selamat menonton, :D.



Mengenai pembahasan secara singkat tentang pembelajaran dalam video tersebut akan dipaparkan pada postingan artikel selanjutnya.

Berikut ini link download untuk Perangkat pembelajaran dalam video diatas.
Download RPP
Download Lembar Aktivitas Siswa (LAS)

Thursday, January 3, 2013

History, Three Principles and Five Characteristics of PMRI in Indonesia



Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI) merupakan adaptasi dari Realistic Mathematics Education (RME), teori pembelajaran yang dikembangkan di Belanda sejak tahun 1970-an oleh Hans Freudenthal. Menurut Hans Freudenthal (1991) bahwa di dalam pembelajaran matematika realistik, matematika sebagai suatu bentuk aktivitas manusia yang merupakan sudut pandang yang sangat jelas berbeda dengan matematika yang tercetak di buku dan tertanam dalam pikiran. Menurut Freudenthal (Van den Heuvel-Panhuizen, 1998), matematika harus dikaitkan dengan kenyataan, dekat dengan pengalaman anak dan relevan terhadap kehidupan masyarakat, untuk menjadi manusia yang bernilai. 

Sejarah PMRI dimulai dari usaha mereformasi pendidikan matematika yang dilakukan oleh Tim PMRI (dimotori oleh Prof. RK Sembiring dkk) sudah dilaksanakan secara resmi mulai tahun 1998, pada saat tim memutuskan untuk mengirim sejumlah dosen pendidikan matematika dari beberapa LPTK di Indonesia untuk mengambil program S3 dalam bidang pendidikan matematika di Belanda. Selanjutnya ujicoba awal PMRI sudah dimulai sejak akhir 2001 di delapan sekolah dasar dan empat madrasah ibtidaiyah. Kemudian, PMRI mulai diterapkan secara serentak mulai kelas satu di Surabaya, Bandung dan Yogyakarta. Setelah berjalan delapan tahun, pada tahun 2009 terdapat 18 LPTK yang terlibat, yaitu 4 LPTK pertama ditambah UNJ (Jakarta), FKIP Unlam Banjarmasin, FKIP Unsri Palembang, FKIP Unsyiah (Banda Aceh), UNP (Padang), Unimed (Medan), UM (Malang), dan UNNES (Semarang), UM (Universitas Negeri Malang), dan Undiksa Singaraja, Bali, UNM Makassar, UIN Jakarta,Patimura Ambon, Unri Pekan Baru, dan Unima Manado. Selain itu juga ada Unismuh, Universitas Muhamadiyah Purwokerto dan STKIP PGRI Jombang. Jumlah sekolah yang terlibat, dalam hal ini disebut sekolah mitra LPTK tidak kurang dari 1000 sekolah.

Melihat perkembangan PMRI yang telah meningkat pesat di Indonesia, perlu diketahui pula tentang apa yang menjadi prinsip-prinsip dan karakteristik-karakteristik dari PMRI. Gravemeijer (1994) mengemukakan tiga prinsip pokok dalam Pendidikan Matematika Realistik, yaitu: 
1. Penemuan terbimbing dan matematisasi progresif. 
2. Fenomenologi didaktis, dan 

3. Model pengembangan sendiri.
Prinsip pertama, penemuan terbimbing dan matematisasi progresif yang berarti bahwa dalam mempelajari matematika, perlu diupayakan agar siswa mempunyai pengalaman dalam menemukan sendiri berbagai konsep, prinsip matematika dan lain-lain, dengan bimbingan melalui proses matematisasi horisontal dan matematisasi vertikal, seperti yang dulu pernah dialami oleh para pakar yang pertama kali menemukan atau mengembangkan konsep-konsep atau materi tersebut. Sejarah matematika dapat digunakan sebagai sumber inspirasi dalam proses pembelajaran. Secara umum salah satu yang dibutuhkan dalam menemukan masalah kontekstual adalah memberikan prosedur penyelesaian yang bermacam-macam, dapat dikerjakan secara bersama, telah memiliki cara pembelajaran yang mungkin melalui proses matematisasi progresif.

Prinsip kedua, berhubungan dengan ide fenomenologi didaktis dari Freudenthal yang mengandung arti bahwa dalam mempelajari konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan materi-materi dalam matematika, siswa berangkat dari masalah-masalah kontekstual yaitu masalah yang berasal dari dunia nyata, atau paling tidak dari masalah yang dapat dibayangkan oleh siswa sebagai masalah nyata. Berdasarkan fenomena didaktikal tersebut, situasi dimana topik matematika yang diberikan harus memenuhi dua kriteria. Pertama, untuk mengungkapkan beberapa macam aplikasi yang telah diantisipasi dalam pelajaran. Kedua, untuk mempertimbangkan kecocokannya sebagai dampak untuk proses matematisasi progresif. Oleh karena itu, tujuan investigasi fenomena tersebut adalah untuk menemukan situasi masalah dimana pendekatan spesifik terhadap situasi dapat digeneralisir, dan untuk menemukan situasi yang dapat menimbulkan skema prosedur penyelesaian yang dapat diambil sebagai dasar untuk matematisasi vertikal.

Prinsip ketiga, model pengembangan sendiri mengandung arti bahwa dalam mempelajari konsep-konsep dan materi-materi matematika dengan melalui masalah yang kontekstual, siswa mengembangkan sendiri model atau cara menyelesaikan masalah tersebut.model tersebut bertindak dalam menghubungkan antara pengetahuan informal dan matematika formal. Model tersebut dimaksudkan sebagai wahana untuk mengembangkan proses berpikir siswa, dari proses berpikir yang paling dikenal siswa, yang mungkin masih bersifat intuitif, kearah proses berpikir yang lebih formal. Melalui proses generalisasi dan formalisasi, model pada akhirnya mungkin dapat digunakan sebagai model untuk memberikan alasan matematis dalam menyelesaikan masalah kontekstual.

Selain itu, Treffers (Van den Heuvel-Panhuizen, 1998) merumuskan lima karakteristik RME yang diantaranya.
1. Menggunakan masalah kontekstual
Masalah kontekstual sebagai aplikasi dan sekaligus sebagai titik tolak dari mana matematika yang diinginkan dapat muncul. Siswa dikenalkan pada konsep dan abstraksi melalui hal-hal yang konkret dan diawali dari pengalaman siswa, bahkan dari lingkungan sekitar siswa.
2. Menggunakan model
Perhatian siswa diarahkan pada pengenalan model, skema, dan simbolisasi untuk menjembatani kesenjangan antara konkret dengan abstrak atau dari abstraksi yang satu ke abstraksi selanjutnya.
3. Menggunakan kontribusi siswa
Kontribusi siswa diharapkan paling besar dalam proses pembelajaran yang mengarahkan mereka dari metode informal kearah formal. Siswa memproduksi dan mengkonstruksi gagasan mereka, sehingga proses pembelajaran menjadi konstruktif dan produktif. Gagasan siswa dikomunikasikan kepada siswa lain dan guru, sehingga belajar matematika tidak hanya terjadi melalui aktivitas individu, melainkan juga aktivitas bersama.
4. Interaktivitas dalam proses pembelajaran
Dalam proses pembelajaran matematika, seharusnya terjalin interaksi antara siswa dengan siswa yang lainnya melalui negosiasi secara eksplisit, intervensi, kooperasi, dan evaluasi sesama siswa dan guru yang merupakan faktor penting dalam proses belajar secara konstruktif.
5. Terintegrasi dengan topik pembelajaran yang lain
Pendekatan holistik, menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak akan dapat dicapai secara terpisah tetapi keterkaitan dan keterintegrasian harus dieksplorasi dalam pemecahan masalah.

Buku sejarah tentang PMRI sedang dicetak sedangkan buku 10 tahun PMRI di Indonesia (A decade of PMRI in Indonesia, diterbitkan di Belanda) sudah beredar di seluruh dunia di mana buku tersebut bercover seperti di bawah ini.


References:
• Freudenthal, H. 1991. Revisiting Mathematics Education. Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
• http://p4mri.net/new/?page_id=160
• http://www.fisme.science.uu.nl/en/rme/
• Streefland, L. 1991. Realistic Mathematics Education in Primary School: On The Occasion of The Opening of The Freudenthal Institute. Utrecht: CD-β Press, Center for Science and Mathematics Education, Freudenthal Institute, Utrecht University.
• Van den Heuvel-Panhuizen, M. 1998. Realistic Mathematics Education, Work in Progress. Artikel berdasarkan perkuliahan-NORMA, dilaksanakan di Kristiansand, Norway pada tanggal 5 – 9 Juni 1998
• Van den Heuvel-Panhuizen, M. 2000. Mathematics Education in the Netherlands: A Guided Tour. Freudenthal Institute CD-Room for ICME9. Utrecht: Utrecht University.

Tuesday, November 13, 2012

RME in brief

This text is based on the NORMA-lecture, by Marja van den Heuvel-Panhuizen, held in Kristiansand, Norway on 5-9 June 1998

RME in brief
Realistic Mathematics Education, or RME, is the Dutch answer to the world-wide felt need to reform the teaching and learning of mathematics. The roots of the Dutch reform movement go back to the early seventies when the first ideas for RME were conceptualized. It was a reaction to both the American "New Math" movement that was likely to flood our country in those days, and to the then prevailing Dutch approach to mathematics education, which often is labeled as "mechanistic mathematics education."

Since the early days of RME much development work connected to developmental research has been carried out. If anything is to be learned from the Dutch history of the reform of mathematics education, it is that such a reform takes time. This sounds like a superfluous statement, but it is not. Again and again, too optimistic thoughts are heard about educational innovations. The following statement indicates how we think about this: The development of RME is thirty years old now, and we still consider it as "work under construction."
That we see it in this way, however, has not only to do with the fact that until now the struggle against the mechanistic approach to mathematics education has not been completely conquered— especially in classroom practice much work still has to be done in this respect. More determining for the continuing development of RME is its own character. It is inherent to RME, with its founding idea of mathematics as a human activity, that it can never be considered a fixed and finished theory of mathematics education.

"Progress" issues to be dealt with
This self-renewing feature of RME explains why it is work in progress. But, there are at least two more aspects. One significant characteristic of RME, is the focus on the growth of the students’ knowledge and understanding of mathematics. RME continually works toward the progress of students. In this process, models which originate from context situations and which function as bridges to higher levels of understanding play a key role. Finally, considering the TIMSS results, it seems that RME really can elicit progress in achievements.
 
RME, History and founding principles
The development of what is now known as RME started almost thirty years ago. The foundations for it were laid by Freudenthal and his colleagues at the former IOWO, which is the oldest predecessor of the Freudenthal Institute. The actual impulse for the reform movement was the inception, in 1968, of the Wiskobas project, initiated by Wijdeveld and Goffree. The present form of RME is mostly determined by Freudenthal’s (1977) view about mathematics. According to him, mathematics must be connected to reality, stay close to children and be relevant to society, in order to be of human value. Instead of seeing mathematics as subject matter that has to be transmitted, Freudenthal stressed the idea of mathematics as a human activity. Education should give students the "guided" opportunity to "re-invent" mathematics by doing it. This means that in mathematics education, the focal point should not be on mathematics as a closed system but on the activity, on the process of mathematization (Freudenthal, 1968).
Later on, Treffers (1978, 1987) formulated the idea of two types of mathematization explicitly in an educational context and distinguished "horizontal" and "vertical" mathematization. In broad terms, these two types can be understood as follows.

In horizontal mathematization, the students come up with mathematical tools which can help to organize and solve a problem located in a real-life situation.
Vertical mathematization is the process of reorganization within the mathematical system itself, like, for instance, finding shortcuts and discovering connections between concepts and strategies and then applying these discoveries.

In short, one could say — quoting Freudenthal (1991) — "horizontal mathematization involves going from the world of life into the world of symbols, while vertical mathematization means moving within the world of symbols." Although this distinction seems to be free from ambiguity, it does not mean, as Freudenthal said, that the difference between these two worlds is clear cut. Freudenthal also stressed that these two forms of mathematization are of equal value. Furthermore one must keep in mind that mathematization can occur on different levels of understanding.

Misunderstanding of "realistic"
Despite of this overt statement about horizontal and vertical mathematization, RME became known as "real-world mathematics education." This was especially the case outside The Netherlands, but the same interpretation can also be found in our own country. It must be admitted, the name "Realistic Mathematics Education" is somewhat confusing in this respect. The reason, however, why the Dutch reform of mathematics education was called "realistic" is not just the connection with the real-world, but is related to the emphasis that RME puts on offering the students problem situations which they can imagine. The Dutch translation of the verb "to imagine" is "zich REALISEren." It is this emphasis on making something real in your mind, that gave RME its name. For the problems to be presented to the students this means that the context can be a real-world context but this is not always necessary. The fantasy world of fairy tales and even the formal world of mathematics can be very suitable contexts for a problem, as long as they are real in the student's mind.

The realistic approach versus the mechanistic approach.
The use of context problems is very significant in RME. This is in contrast with the traditional, mechanistic approach to mathematics education, which contains mostly bare, "naked" problems. If context problems are used in the mechanistic approach, they are mostly used to conclude the learning process. The context problems function only as a field of application. By solving context problems the students can apply what was learned earlier in the bare situation.
In RME this is different; Context problems function also as a source for the learning process. In other words, in RME, contexts problems and real-life situations are used both to constitute and to apply mathematical concepts.

While working on context problems the students can develop mathematical tools and understanding. First, they develop strategies closely connected to the context. Later on, certain aspects of the context situation can become more general which means that the context can get more or less the character of a model and as such can give support for solving other but related problems. Eventually, the models give the students access to more formal mathematical knowledge.

In order to fulfil the bridging function between the informal and the formal level, models have to shift from a "model of" to a "model for." Talking about this shift is not possible without thinking about our colleague Leen Streefland, who died in April 1998. It was he who in 1985*  detected this crucial mechanism in the growth of understanding. His death means a great loss for the world of mathematics education.

Another notable difference between RME and the traditional approach to mathematics education is the rejection of the mechanistic, procedure-focused way of teaching in which the learning content is split up in meaningless small parts and where the students are offered fixed solving procedures to be trained by exercises, often to be done individually. RME, on the contrary, has a more complex and meaningful conceptualization of learning. The students, instead of being the receivers of ready-made mathematics, are considered as active participants in the teaching-learning process, in which they develop mathematical tools and insights. In this respect RME has a lot in common with socio-constructivist based mathematics education. Another similarity between the two approaches to mathematics education is that crucial for the RME teaching methods is that students are also offered opportunities to share their experiences with others.
In summary, RME can be described by means of the following five characteristics (Treffers, 1987):
  • The use of contexts.
  • The use of models.
  • The use of students’ own productions and constructions.
  • The interactive character of the teaching process.
  • The intertwinement of various learning strands.
This concludes a brief overview of the characteristics of RME. Click for more about:

* Streefland (1985). Later on, this idea of a shift in models became a significant element in RME thinking about progress in students’ understanding of mathematics (see Streefland, 1991; Treffers, 1991; Gravemeijer, 1994; Van den Heuvel-Panhuizen, 1995).
You can see this article from http://www.fisme.science.uu.nl/en/rme/

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Iptek-4u - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons